Ada enam kapal yang dikejar oleh pemerintah Indonesia sejak
tahun 2006. Pemerintah Indonesia pernah melakukan pengejaran tahun 2014. Kapal
FK Viking tersebut dipecah di beberapa negara diantaranya di Thailand, Malaysia,
Australia serta benua Antartika. Setiap memasuki wilayah suatu negara maka
kapal tersebut akan berganti bendera sebagai bentuk kamuflase. Kapal yang
memuat dua puluh orang awak itu melakukan penangkapan ikan menggunakan pukat
harimau yang menyebabkan ikan-ikan kecil ikut terjaring. Hal itu akan membuat
ikan-ikan kecil tersebut tidak dapat keluar lagi dan sulit melakukan pergerakan
sehingga akhirnya akan mati dan membusuk
yang mengakibatkan rusaknya ekosistem laut.
Dikutip dari laman BBC
News, dari informasi Interpol, kapal tersebut sudah tiga belas kali
berganti nama, dua belas kali berganti bendera dan delapan kali berganti call
sign. Untuk memastikan FV Viking merupakan kapal yang selama ini diincar,
anggota Interpol dari Norwegia dan Afrika Selatan dilaporkan telah datang ke
Indonesia. Hasilnya, tidak diragukan bahwa FV Viking adalah kapal yang dipakai
untuk pencurian ikan. Para kru kapal yang terdiri dari lima orang asal
Argentina, Peru, Myanmar, dan enam warga Indonesia akan dijerat menggunakan
hukum tentang perkapalan dan perikanan. Kapal itu, katanya, memiliki sistem
pemrosesan ikan di dalamnya dan karenanya tak perlu berlabuh untuk menjual
hasil tangkapannya. Menurut keyakinannya, kapal itu
mengalami kerusakan mesin sehingga masuk perairan Indonesia. Kapal ini
merupakan pula kapal keenam dari apa yang digambarkan organisasi aktivis
perairan, Sea Sheperd, sebagai "enam bandit."
Dikutip
dari detik.com, sebelum ditenggelamkan
di lepas Pantai Pangandaran, Jawa Barat, pada Senin 14 Maret 2016, kapal FV
Viking Lagos yang berbendera Nigeria, ditangkap pada tanggal 26 Februari 2016
di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, 12,7 mil dari Tanjung Uban, Bintan,
Provinsi Riau. Kapal ini masuk ke Indonesia tanpa melaksanakan kewajiban
pelaporan identitas dan data pelayaran serta dalam kondisi tidak hidup. Dari
penggeledahan, ditemukan jaring ikan yang setelah diperiksa oleh ahli merupakan
jenis gillnet dasar atau liong bun dan tali jaring di atas kapal dengan panjang
diperkirakan: 7980 unit jaring masing-masing 50 meter = 399.000 meter / 399
kilometer; dan 71.000 meter / 71 kilometer tali tambang jaring. Jaring tersebut
jelas akan mengganggu dan merusak sumber daya ikan serta melanggar Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan
Alat Penangkapan Ikan, dimana untuk gillnet liong bun hanya diperbolehkan
sepanjang 2.500 meter / 2,5 kilometer. Satgas Pemberantasan Ilegal Fishing yang
dibantu oleh Multilateral Investigation Support Team (MIST) dari Norwegia dan
Kanada juga menemukan beberapa hal antara lain: Kapal FV Viking merupakan kapal
tanpa kebangsaan, pemerintah Nigeria telah menyatakan secara resmi bahwa kapal
FV Viking tidak terdaftar di Nigeria. Laporan penangkapan ikan dan komputer
navigasi yang merupakan benda penting untuk menemukan lokasi kegiatan
penangkapan ikan FV Viking tidak ditemukan diatas kapal. Dari dokumen-dokumen
yang ditemukan, terungkap bahwa ikan-ikan hasil tangkapan seringkali didaratkan
di Thailand. Beberapa dokumen lain juga menunjukkan bahwa kapal FV Viking
berulang kali mengisi ulang logistik perkapalan dari Singapura dan melakukan
perbaikan kapal di Singapura. FV Viking memiliki keterkaitan dengan perusahaan
perikanan di Spanyol. Temuan-temuan tersebut jelas menunjukkan bahwa kapal FV Viking
melakukan berbagai pelanggaran ketentuan conservation measures yang diatur oleh
berbagai ketentuan hukum internasional. Hal lain yang juga perlu menjadi
perhatian dunia adalah jejaring bisnis pemilik dan operator kapal FV Viking dan
pasar yang menjadi tujuan hasil tangkapan kapal FV Viking yang berada di
berbagai belahan dunia misalnya Singapura, Vietnam, Malaysia, Angola, Congo,
Spanyol dan Amerika Serikat. Temuan-temuan awal ini masih terus didalami oleh
Satgas dengan bekerjasama dengan MIST.
Setelah
dilakukan penggeledahan, kapal FK Viking diberangkatkan dari Pelabuan Tanjung
Priok Jakarta pada Sabtu 12 Maret 2016 ke Perairan Pangandaran dengan jarak
tempuh tiga puluh dua jam dan dikawal Kapal TNI Angkatan Laut KRI Sutanto tiba
di Pangandaran pada Minggu, 13 Maret 2016 sekitar pukul 10.00 WIB.
Aksi
penenggelaman disaksikan Duta Besar Norwegia, Duta Besar Amerika Serikat, dan
Duta Besar Australia. Berbeda dengan beberapa kejadian sebelumnya, kali ini
penenggelaman tidak dilakukan dengan penembakkan, karena Menteri Susi
Pudjiastuti, yang kebetulan berasal dari Pangandaran, hendak membiarkan
sebagian badan kapal tetap utuh, untuk menjadi monumen langkah penumpasan
pencurian ikan oleh kapal-kapal asing. Saat waktunya penenggelaman, pukul
12:30. terdengar aba-aba penghitungan mundur. Lalu disaksikan warga yang
memadati pesisir, termasuk nelayan yang sengaja tidak melaut hari itu, para
petugas dan nelayan menyalakan bahan peledak.
Sebagian yang berkerumun di tepi pantai tak mendengar aba-aba, dan
terkejut waktu mendengar ledakan. Lalu tampak asap hitam membumbung dari dua
bagian kapal. Kapal pun perlahan-lahan tenggelam, namun menyisakan sebagian
badannya di permukaan. “Sesudah dijadikan monumen nanti, ini akan menyampaikan
pesan bahwa para penangkap ikan liar boleh jadi bebas di negara lain namun
andai masuk perairan Indonesia mereka akan ditangkap dan inilah yang akan
terjadi pada kapal-kapal mereka," tegas Susi Pudjiastuti.
Masyarakat
pangandaran berapreasiasi positif dengan keberhasilan ibu Susi yang dapat
memimpin pengeboman kapal yang diburu oleh tiga belas negara. Mereka memandanng
itu sebagai prestasi yang sangat membanggakan yang dapat mendrongkrak
pariwisata Pangandaran sehingga Pangandaran bisa lebih dikenal oleh
orang-orang. Namun, beredar sebuah foto yang menunjukan adanya bayangan hitam
di sekitar kapal setelah penenggelaman. Menanggapi foto tersebut, juru kampanye
kelautan Greenpeace, Arifsyah Nasution, mengatakan bahwa perlu verifikasi,
pakah bayangan gelap tersebut benar tumpahan minyak atau refleksi batu karang
dari dasar air. Jika benar tumpahan minyak berasal dari kapal, maka dampaknya
akan besar terhadap ekosistem pesisir jika itu tidak ditangani
segera."Kalau saya lihat dari foto, itu memang dari Vikingnya sendiri.
Tapi perlu ada evaluasi dan verifikasi, apakah benar minyak itu berasal dari
Viking? Kalau itu benar, maka SOP yang dijalankan KKP itu perlu dievaluasi,
apakah semua sudah dijalankan atau tidak," ujar Arifsyah kembali dikutip
dari BBC Indonesia.
Comments
Post a Comment