Berbagi materi seputar dunia ilmu komunikasi

Pengikut

Public Speaking: Contoh Naskah dan Pointer Materi Fenomena Pernikahan Beda Agama



sumber gambar: muslimah.co.id 

Pernikahan saat ini sudah terkikis jauh dari nilai aqidah. Pernikahan yang didasari rasa cinta dianggap tidak bisa dibatasi dengan agama. Adanya modernisasi merupakan salah satu faktor penyebab pernikahan beda agama. Budaya Barat yang masuk mengatasnamakan hak asasi manusia untuk dapat melanggar aturan agama. Pengaruh tersebut cukup besar terhadap masyarakat Indonesia yang sarat dengan pluralisme. Alhasil mulai dari dari publik figur sampai para penganggur, dari kalangan selebritis sampai orang biasa berbondong-bondong melakukan pernikahan beda agama. Bahkan tidak tanggung-tanggung Ahmad Nurcholish, aktivis LSM Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP) disamping telah melangsungkan perkawinan beda agama, ia juga telah menikahkan sedikitnya 638 pasangan beda agama di seluruh Indonesia.
Tahun 1974 merupakan awal terbentuknya unifikasi tentang perkawinan yang ditandai dengan  Undang-undang No. 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan hal ini sebagai bentuk telah adanya keseragaman pengaturan tentang perkawinan bagi seluruh  masyarakat di Indonesia. Sayangnya, UU Perkawinan tidak mengatur secara eksplisit tentang perkawinan beda agama. Pasal 2 UU Perkawinan menyatakan bahwa: 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Dilihat dari sisi konsep agama yang ada di Indonesia dan juga terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang baru-baru ini telah menolak tegas perkawinan beda agama meskipun terjadi concurring opinion sesama hakim dan para pemohon.
1.      Perkawinan beda agama dari sudut pandang ajaran Islam. Islam dengan tegas melarang wanita muslim kawin dengan laki-laki non muslim, baik yang musyrik maupun ahli kitab, seperti yang dengan jelas ditegaskan dalam surat al Baqarah ayat 221.
2.      Seperti juga agama-agama lain, pada prinspnya Agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang seagama. Karena tujuan perkawinan dalam Agama Protestan adalah untuk mencapai kebahagiaan. Sedangkan kebahagian tersebut akan sulit dicapai bila suami isteri tidak seiman.
3.      Pandangan Gereja Katolik yang mengatakan bahwa pernikahan adalah sakramen, seperti ditegaskan dalam frase berikutnya (’oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen’) didasari pandangan ini. Yang semakin ditegaskan dalam kanon 1055 § 2 yang mengatakan, ”Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.” Hal ini berarti bahwa perkawinan antara seorang yang dibaptis secara Katolik atau diterima di dalamnya dengan seorang dari Gereja Kristen juga menjadi sakramen. Bahwa yang disebut sakramen hanya antara dua orang dibaptis tentu terkait dengan pendasaran teologis bahwa Kristus adalah sakramen keselamatan dunia dan murid-murid Kristus dipanggil untuk mewartakan kasih Allah yang ’menjelma’ dalam diri Kristus.
4.      Menurut hukum agama Hindu, perkawinan itu sah bila dilakukan dihadapan pendeta. Bila ada yang salah satunya bukan beragama Hindu, maka sebelum hari perkawinan harus dibuatkan upacara “Sudhiwadani” yang mensyaratkan : a) Pernyataan diri dari salah satu mempelai akan mengalih Agama menjadi agama Hindu, kecuali umurnya dibawah 25 tahun diperlukan surat pernyataan persetujuan dari orang tuanya bahwa akan mengalih Agama menjadi Agama Hindu. b) Surat keterangan dari penjuru Banjar (Kelihan Adat) atau mengusulkan kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia atau Bimas Hindu setempat untuk diminta pengesahannya berupa piagam. Hal ini menjadi dasar bahwa Hindu tidak membenarkan adanya perkawinan campuran atau antar agama.
5.      Menurut Sangha Agung Indonesia perkawinan beda agama diperbolehkan, asalkan pengesahaannya dilakukan menurut tata cara agama Buddha. Meski calon mempelai yang bukan Buddha tidak mesti diharuskan untuk masuk Buddha terlebih dahulu. Tapi, dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Buddha”, Dharma dan Sangka”, yang merupakan dewa-dewa umat Buddha. Namun hambatannya adalah datang dari pihak negara yang seharusnya melindungi dan mengayomi segenap bangsa Indopnesaia, sesuai dengan UUD 1945. “Setelah bergelut demikian lama terpaksalah salah satu pasangan tersebut “merelakan” ataupun menggadaikan” keyakinannya karena tidak dapat menembus benteng tekanan internal keluarga, komunitas agamanya dan negara.
6.      Dalam agama Khonghucu  belum dikenal adanya pernikahan beda agama karena tidak ada satu ayat pun yang khusus membolehkan atau melarang pernikahan dua insan yang berbeda keyakinan. Pernikahan dinyatakan sah apabila terjadi antara laki-laki dan perempuan dewasa, tidak ada unsur paksaan, disetujui atau atas kemauan dua belah pihak, mendapat restu kedua orang tua atau yang dituakan, diteguhkan dalam sebuah upacara keagamaan, meski untuk salah satu mempelai tidak diharuskan berpindah keyakinan.

                 Meski ke enam agama yang diakui di Indonesia secara jelas melarang pernikahan beda agama, namun  tetap saja banyak yang melaksanakan pernikahan beda agama dengan berbagai cara. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh mereka yang akan melakukan perkawinan beda agama, yaitu:
1.      Salah satu dari pasangan mengikuti keyakinan agama pasangannya dan menikah menurut agama dari pasangannya tersebut. Ada dua bentuk perpindahan keyakinan agama yang dilakukan pasangan untuk dapat melangsungkan pernikahan dengan pasangannya, yaitu
a.       Perpindahan agama hanya berupa proforma untuk memenuhi persyaratan agar pernikahannya dapat dilangsungkan dan dicacatkan secara resmi, namun kemudian setelah perkawinan tersebut berlangsung yang bersangkutan kembali kepada keyakinan agamanya semula dan tetap menjalankan aturan agamanya.
b.      Pernikahan yang benar-benar secara tulus melakukan peralihan keyakinan agamanya dan menjalankan ajarannya untuk seterusnya dalam kehidupan perkawinan dan keluarga mereka. 
2.      Masing-masing pasangan tetap mempertahankan keyakinan agamanya. Pernikahan dilangsungkan menurut masing-masing agama, bisa jadi di pagi hari pernikahan berlangsung menurut keyakinan agama salah satu pasangan, serta siang atau sore harinya melakukan pernikahan lagi menurut agama yang lainnya.

Pernikahan beda agama bisa saja terlaksana dengan cara tersebut, namun akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap anak yang terlahir dari pernikahan itu. Kedudukan hukum anak yang lahir dari pasangan pernikahan beda agama, kita merujuk pada ketentuan Pasal 42 UUP yang menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah yang dilakukan baik di Kantor Urusan Agama (untuk pasangan yang beragama Islam) maupun Kantor Catatan Sipil (untuk pasangan yang beragama selain Islam). Selain itu, orang tua yang berbeda agama juga perlu memperhatikan ketentuan Pasal 42 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UUPA”) yang berbunyi:
1.      Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
2.      Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.
Di dalam penjelasan Pasal 42 ayat (2) UUPA diterangkan bahwa anak dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pernikahan sejatinya tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan pernikahan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara. Menurut Mahkamah, prinsip Ketuhanan yang diamanatkan dalam UUD 1945 merupakan perwujudan dari pengakuan keagamaan. Sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga negara mempunyai hubungan yang erat dengan agama, dan salah satunya adalah pernikahan.
             Pernikahan adalah hal yang sakral. Jadi, pernikahan tidak hanya peristiwa hukum semata. Di Indonesia, masyarakatnya religius sehingga pernikahan merupakan peristiwa sakral, bahkan pernikahan adalah ibadah. Tidak diakuinya nikah beda agama oleh Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu ketentuan agama dan  itu mencerminkan keindonesiaan kita.















Sumber:


Pointer naskah : “ Fenomena Pernikahan Beda Agama”

1.    Penikahan terkikis dari nilai agama.
2.    Modernisasi  dan hak asasi.
3.    Masyarakat Indonesia yang Pluralisme.
4.    Penikahan beda agama yang dilakukan Ahmad Nurcholish, aktivis LSM Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP).
5.    Hukum penikahan dalam UU Pernikahan pasal 2.
6.    Pandangan agama terhadap pernikahan beda agama.
·            Islam, surat al-baqorah ayat 221.
·            Protestan, tujuan pernikahan kebahagiaan.
·            Katolik, harus sakramen dan baptis termasuk sakramen.
·            Hindu, harus dihadapan pendeta dan melakukan upacara
        Sudhiwadani”
·         Budha, diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Buddha”, Dharma dan Sangka”
·            Konghucu, tidak ada aturannya.
7. Cara melaksanakan pernikahan beda agama.
·            Mengikuti agama pasangan.
·            Tetap pada keyakinan masing-masing.
8.    Kedudukan dan status anak dari pasangan beda agama Pasal 42 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak  (“UUPA”)
9.    Pernikahan dilihat dari aspek spiritual dan sosial.
·           Agama mensahkan, negara lewat undang-undang administratif.
·           Menurut mahkamah pengakuan agama perwujudan prinsip ketuhan menurut UUD 1945.
·           Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tindakan warga negara mempunyai hubungan yang erat dengan agama salah satunya adalah pernikahan.
·           Pernikahan adalah hal yang sakral mencerminkan keindonesiaan kita.



No comments:

Post a Comment

Sesame Street Elmo
Copyright © Jurnal Komunikasi. All rights reserved. Template by CB. Theme Framework: Responsive Design